Telah
ku temukan
Oleh : Nadia
Azzahra Apok
Semua berawal ketika
Fitrah tak sengaja jadi salah satu panitia SANLAT di Sekolahnya, sebagai
pengurus OSIS ini merupakan hal yang wajib untuk turut serta berpartisipasi
dalam setiapkegiatan OSIS yang dilaksanakan. Dan perjalanan spiritualnyapun
berawal dari sini.
Hari pertama dalam
kegiatan SANLAT ini berjalan lancar dan biasa saja, seperti tak ada apa-apanya
dan itu pula yang dirasakan Fitrah, Ia menjalankan tugasnya dengan baik,
memenuhi kebutuhan para peserta, mengontrol setiap agenda acara sesuai jadwal
yang sudah disepakati bersama. Semua tampak baik-baik saja dimata Fitrah. Namun
ada hal lain yang mulai Ia rasakan ketika rapat evaluasi panitia di malam
pertama itu.
“Assalamu’alaikum Wr.
Wb.” Ucap Reza, kakak kelas Fitrah. Dalam kegiatan ini Reza selaku sekretaris
panitia.
“Wa’alaikum salam Wr.
Wb.” Jawab peserta rapat
“Alhamdulillah, malam
ini teman-teman masih bersemangat dan tetap sehat dalam beraktivitas
sehingganya tak ada kata yang pantas keluar dari hati kita dan bibir manis kita
melainkan ucap syukur kehadirat Allah yang telah menganugerahkan ini semua
untuk kita, Tak lupa Shalawat serta salam kita haturkan kepada tokoh
proklamator akbar, putra terbaik dunia Rasulullah SAW, beserta para keluarga
dan para sahabat. Untuk memanfaatkan waktu, malam ini teman-teman dikumpulkan
dalam evaluasi kegiatan seharian tadi. Adapun hal-hal yang ingin teman-teman
tanyakan atau sampaikan tentang kegiatan ini, diharapkan untuk diselesaikan
dalam forum ini agar semua kita bisa saling terbuka dan saling memberi masukan.
Baiklah untuk lebih jelasnya, saya serahkan kepada ketua panitia.” Ucap Reza
membuka rapat di malam itu.
“Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr Wr” Ucap Hidayat, sang leader dalam kepanitiaan ini.
Hidayat juga adalah kakak kelas Fitrah yang kebetulan adalah Kabid di bidang
keagamaan OSIS.
“Baiklah, seperti yang sudah dipaparkan
sebelumnya oleh sekretaris, malam ini kita akan evaluasi kegiatan kita mulai
dari awal, sejak pembukaan tadi hingga agenda malam ini. Kita mulai dari
sekretaris, bendahara kemudian seksi-seksi di bawahnya.” Jelas Ketua paniti
Rapat itu berlangsung
dengan serius, dan didominasi oleh anak-anak kelas XI, jelas saja bagi Fitrah dan
teman-temannya ini merupakan hal yang baru sebagai anak kelas X di Sekolahnya,
sehingga dalam hal berbicara di depan umum, mengeluarkan pendapat saat rapat, juga
menanggapi pendapat teman-teman, mereka masih butuh banyak belajar dari
kakak-kakak kelas mereka itu. Tak heran jika Fitrah memperhatikan secara detail
setiap kakak kelasnya yang berbicara. Dalam hatinya, kapan ya Aku bisa seperti
mereka. Rapat berjalan baik-baik saja sampai kemudian.
“Tidak, itu adalah
keharusan. Sebagai panitia kita adalah contoh bagi peserta, bagaimana mungkin
kita mengajarkan kebaikan sedangkan panitia sendiri tidak memperlihatkan
kebaikan itu” Ucap keras seorang perempuan berjilbab lebar dan panjang itu.
Belakangan Fitra tahu namanya adalah Sari. Kakak kelasnya di XII IA. Siswa yang
tekenal pandai dan tekun.
Suasanapun tiba-tiba
berubah, semua mata tertuju pada Sari. Gadis berparas cantik dengan jilbabnya
yang terurai rapi.
“Tapi bagaimana dengan
panitia yang belum paham dengan itu, kita tidak bisa memaksakannya. Bekerja sesuai
tugas masing-masing dengan baik itu sudah cukup. Masalah itu biarkan mereka
memahaminya sendiri-sendiri. Bukankah lebih baik jika mereka berubah atas
kesadaran pribadi bukan karena paksaan?” Sanggah salah seorang panitia. Wawan.
Kakak kelas Fitrah yang satu ini adalah mantan ketua OSIS yang terkenal agamis
dan cerdas, tak heran ia sering tampil dengan menggunakan baju koko dan celana
berbahan kain bukan jeans.
“Bukan memaksakannya,
ini sudah merupakan konsekuensi sebagai panitia. Jangan pernah berharap kita
bisa merubah orang (peserta) menjadi lebih baik sedangkan kita (panitia) tidak
bisa memberi contoh, hanya dalam 3 hari ini saja, setelah itu dikembalikan pada
pribadi masing-masing. Tugas kita menyampaikan kebenaran. Kan yang namanya
SANLAT bukan hanya peserta yang di Training tapi segala komponen yang adapun
ditraining, baik peserta maupun panitia, pembina kita saja ditraining kok.”
Jawab Sari.
“Baiklah, kalau memang seperti demikian yang
teman-teman inginkan. Maka kami memutuskan bahwa harus ada TATIB yang mengikat
baik peserta maupun panitia. Untuk panitia kita bahas sekarang juga, silahkan kepada
teman-teman jika ada poin-poin yang ingin diajukan.” Kata Reza menengahi adu
argumen Sari dan Wawan.
Perdebatan yang cukup
sengit antara panitia, hingga akhirnya menghasilkan keputusan TATIB panitia
yang mungkin memberatkan bagi sebagian lainnya. Jelas saja ada beberapa hal
yang tidak menjadi kebiasaan mereka, seperti: Panita Ikhwan dilarang keras
masuk di ruangan Panitia akhwat dan sebaliknya, panitia akhwat dan ikhwan
saling menjaga jarak min 1 meter, selalu memakai pakaian rapi dan menutup aurat
(bagi akhwat diharuskan memakai rok), panitia ikhwan dilarang merokok di
lingkungan sekolah dan lain-lain.
Fitrah berlari kencang
menuju ruang panitia akhwat, dibongkarnya tas yang berisi persediaan pakaianya
selama tiga hari di Sekolah, tak satupun Ia menemukan rok, Iapun menangis dalam
kesendiriannya di ruangan itu yang difikirkannya adalah takut dimarah Kak Sari.
***
Pagi yang cerah ketika
sang fajar mulai menampakkan sinarnya, menusuk tajam hingga menembus kulit dan
begitu menyehatkan bagi para peserta SANLAT yang sedang berolahraga dipandu
oleh panitia. Namun di antara kerumunan rapi orang-orang itu tak terlihat sosok
Fitrah. Olahraga dilakukan dengan sangat bersemangat yang dilanjutkan dengan
games dari panitia. Matahari yang semakin terik membuat mereka merasakan capek
yang luar biasa hingga akhirnya waktu untuk mandi tiba. Tapi tetap saja Fitrah
tak nampak di antara meraka. Sari yang dari tadi tak melihat Fitrah menanyakan
ke beberapa panitia akhwat yang ditemuinya. Tapi tak menemukan jawaban.
Terakhir Ia melihat Fitrah saat rapat evaluasi semalam. Shalat tahajud, Sahur,
Shalat subuh dan olahraga tadi Ia tidak melihatnya.
Pukul 08:00 di Pagi
itu, terlihat semua peserta telah bersiap-siap mengikuti materi selanjutnya
sambil menunggu pemateri pagi itu pesertapun sibuk menyelesaikan tugas-tugas
mereka dari panitia.
***
Sementara itu di tempat
lain.
“Fitraaaahh,
Fitraaaaahh.” Ucap sari lembut, sambil membuka perlahan pintu ruangan akhwat
berharap Fitrah ada di dalamnya. Ia masuk perlahan.
Menyadari ada orang
lain di ruangan itu, Fitrah menyembunyikan dirinya di balik lemari di pojok
ruangan, matanya sembab dan sedikit bengkak. Ia malu jika harus bertemu orang
lain saat itu.
Langkah pelan Sari
terdengar mendekati posisi Fitrah. Dengan sangat gugup Fitrah menehan nafasnya,
dan berusaha agar tidak ditemukan. Sesaat ketika Sari hendak melangkah dari
posisi awalnya, Ia curiga ada sosok gadis di balik lemari itu, Ia mencoba
melangkah pelan agar siapapun dibalik lemari itu tidak menyadari keberadaannya.
Sari mulai mengendap-endap menuju lemari buku di hadapannya. Fitrah yang tentu
saja berada di balik lemari itu makin merasakan takut yang luar biasa, sesekali
ia menahan nafasnya berharap jangan sampai ketahuan. Dan.
“Kak Sariiii” Suara di
luar ruangan memecah sunyi dan tegang dalam ruangan itu.
“Iya” Sahut Sari.
“Kak Sari di Dalam?
Kak, ada yang ingin bertemu kakak.” Lanjut suara itu.
Saripun mengurungkan
niatnya, Ia bergegas menuju sumber suara itu. “Iya siapa?” Jawab sari
“Plak” Sebuah buku
jatuh dari lemari, tak sengaja Sari melihat sekilas sosok seorang gadis
mengenakan kerudung putih,berpakaian putih dan bawahan jeans longgar melintas
dan berpindah di balik tirai jendela hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Ingin kembali mengecek
hal yang sempat menyita perhatiannya itu, namun suara lain mengejutkannya lagi.
“Kak Sari, Ayo !”
“Oh iya, dimana
tempatnya sayang?”
“Di sana kak, diruang
guru ada Bapak Kepsek juga di sana. ”
“Baik. Terimakasih ya,
Ayu.” Ucap sari dan bergegas ke Ruang yang dimaksud.
Sementara itu, Fitrah
yang sedari tadi dalam suasana yang begitu menegangkan.
“Hhhhh, Selamat,
selamat.” Ucap Fitrah pelan sambil mengusap-usap dadanya.
Menganggap dirinya
aman, segera Ia bergegas membereskan barang-barangnya yang berantakan setelah pergulatan
hatinya semalam, konflik bathin masih terus Ia rasakan tapi Ia mencoba menepis
semuanya. Yang ada difikirannya sekarang, Ia harus pulang selagi materi pertama
sedang berlangsung agar tak ada yang menyadari kepergiannya. Sambil mengendap-endap
Ia berjalan keluar ruangan, Ia memeastikan bahwa situasi dan kondidi aman
untuknya. Berlari hingga ke halaman depan Sekolah bermaksud menghentikan
kendaraan umum untuk segera pulang ke rumah.
“Fitrah??” Panggil Sari
setengah heran, sambil berlali ke Arah Fitrah yang sudah siap dengan tas
ranselnya.
Langkah Fitrah terhenti,
sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh, Ia menoleh ke arah sumber
suara.
“Fitrah, kamu kenapa
sayang?” Tanya sari dengan penuh cemas.
“Tidak apa-apa kak.”
Jawab Fitrah terbata-bata sambil menggelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa
bagaimana, mata kamu merah begini, Kita bicara di Mushalah ya” Bujuk Sari dan
menuntun Fitrah ke Mushalah.
Pembicaraan yang begitu
alot terjadi di sana, keduanya menangis saling bercucuran air mata. Betapa
tidak, suasana yang tak pernah dirasakan Fitrah sebelumnya. Dengan ukhuwah dan
rasa saling memiliki membuat mereka saling menumpahkan perasaannya, tak ada
lagi sekat ataupun celah diantara mereka. Subhanallah.
***
Jilbab pertamaku.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Fitrah saat itu. Cahaya
obor dari masing-masing jama’ah yang ingin mengikuti pawai takbiran malam itu
menambah suasana menjadi sangat menentramkan hati.Tak lebih lagi sosok seorang
gadis dengan balutan kerudung yang sangat rapi berdiri di pojok teras masjid,
nampak senyumnya sumringah mendengarkan kumandang Takbir, tanda kemenangan bagi
orang-orang beriman. Sebuah kedamaian hati yang sulit dideskripsikan dengan
kata-kata. Subhanallah betapa cantiknya dirimu dengan jilbab itu.
Hari yang Fitri, semua
seperti lahir kembali, setelah sebulan menahan dahaga, lapar dan hawa nafsu.
Saatnya meraih kemenangan di hari yang Fitri, memulai kehidupan baru, di
lembaran baru seperti manusia yang baru saja lahir. Seperti Fitrah yang sedang
merayakan kemenangannya atas gejolak perasaannya ketika tertatih menuju Sang
Maha Agung, namun Fitrah yakin dan percaya tak sampai disini Ia akan menemukan
pukulan-pukulan keras kehidupan, karena setelah kemenangan hari ini, akan ada
peperangan hebat lagi untuk kemenangan selanjutnya. Tentu saja.
Satu persatu di
sekelilingnya berubah perlahan, Semua karena perubahan yang Ia lakukan dari
dirinya. Kata orang faktor lingkungan sangat mempengaruhi kita, tapi bagaimana
dengan kita yang dapat mempengaruhi lingkungan? Entahlah.
***
“Halo, merah” Goda
seorang pemuda
“Apa, halo-halo??”
Jawabnya dengan nada kesal
“Jangan marah-marah
cantik” Tambah pemuda itu lagi
“Emang Gua Pikirin”
***
Pernah juga saat Ia sedang berjalan
berdua degan temannya, pulang les dari sekolah.
“Halo yang di Tengah” Sapa seorang
pemuda
Saling bertatapan heran.
“Minta nomor HP dong, nanti malam kita
jalan ya” Kata pemuda yang lain lagi.
***
Berbeda sekali dengan
yang saat ini Ia rasakan, tak ada lagi pemuda jahil yang menggangginya ketika
sedang melintasi perempatan jalan, walaupun tampak sekumpulan pemuda yang
nongkrong di deker jalanan, bahkan yang biasa menggodanyapun tampak segan
seketika kala melihat penampilannya saat ini, kalupun tetap ada, berganti
dengan sapaan yang lebih sopan. Seperti ucapan salam atau pertanyaan hendak
kemana, yang tentu saja tidak membutuhkan jawaban jutek seperti yang biasa Ia
lakukan. Ia juga mulai menjaga ucapannya, memikirkan lebih dulu apa yang hendak
Ia katakan, bertuturkata yang baik pada semua orang, menundukan pandangan, dan
mulai menghargai sesama teman. Teman-teman bergaul di Sekolah juga di Sekitar
rumahpun seakan tersihir tiba-tiba ketika berinteraksi dengannya. Mereka yang
dulunya pernah berebut untuk mendapatkan suatu benda hingga bersentuhan antara
lelaki dan perempuan bukan muhrimpun tak terhindarkan, berganti mereka yang
lebih mendahulukan Fitrah untuk memperolehnya. Sama halnya ketika ingin masuk
dalam sebuah ruangan misalnya, terkadang mereka main serobot saja atau bahkan
berdesakkan di pintu berganti mereka yang mengalah dan mempersilahkan Ia masuk
terlebih dahulu. Subhanallah. Ketika kita mencoba mincintai Allah maka cinta
Allah pada kita akan nampak semakin jelas. Ia tampak lebih anggun dengan
pakaiannya yang menutupi auratnya. Tampak lebih bersahaja dengan tuturkata
baiknya. Hingga tak ada yang menyangka pada suatu hari.
“Fitrah, ini semua
kakak kumpulkan dari kakak-kakak senior kita yang sudah lulus tahun kemarin,
mereka ikhlas memberikannya padamu, kakak sudah ceritakan semua tentangmu, tak
ada satupun yang tidak teharu bahkan sampai menangis mendengarkan cerita kakak.
Kakak harap kamu bisa menerimanya dengan ikhlas pula, karena kami semua sayang
padamu, Fitrah” Ucap Sari panjang lebar, saat Ia bertamu ke Rumah Fitrah.
Dimana ada kemauan di
situ ada jalan, asal kita bersungguh-sungguh meraih hidayahnNya, meski tertatih
dan kadang harus berhenti untuk mengumpulkan sisa tenaga dalam mengarungi jalan
kehidupan yang begitu keras. Pecinta sejati akan tetap berusaha meraih CintaNya
walau bagaimanapun keadaannya, sehingga dalam belukar, ditengah setapak yang
sempit dan di arung gelombang akan menemukan Cinta dan HidayahNya.