Sabtu, 28 April 2012

Cerpenku I. Sang Runner Up II


SANG RUNNER UP II
Oleh : Nadia Azzahra Apok

Tim seleksi dari Panitia Pemilihan Putra Putri Nusantara 2008 berkunjung ke Sekolahku, dengan maksud mencari siswa-siswi berbakat dan cerdas untuk menjadi duta pariwisata di Kotaku. Hari pertama masuk sekolah setelah liburan Natal dan Tahun baru itu diwarnai dengan desas desus siapa yang akan mewakili sekolahku pada  event kali itu. Banyak teman-temanku yang merasa dirinya memenuhi persyaratan yang diminta panitia segera mendaftarkan diri mereka. Akupun salut dengan kepercayaan diri mereka. Hingga kemudian suasana sedikit ricuh di ruang kepala sekolah ketika akan ditetapkan siapa perwakilan inti duta Sekolah yang akan mewakili sekolah di event ini, karena banyaknya teman-teman yng mendaftar membuat sedikit kong kalikong di kalangan guru-guru pada saat itu. Aku belum mengetahui hal ini, sampai kemudian aku dikabari oleh seorang teman tentang event ini. Perasaanku saat itu biasa-biasa saja, karena tak ada sama sekali niatku untuk mengikuti ajang ini. Saat itupun Aku sedang berada di Luar kota karena memang ada agenda penting yang aku hadiri di sana, pertemuan pelajar Muslim dari beberapa Kabupaten se-Prov. Sulteng. Alasan jimatku pada Mama dan Papa ketika meminta izin bahwa Aku mewakili teman-teman pelajar se-Kabupaten saat itu, padahal biasa saja bagi teman-teman organisasiku namun terdengar luar biasa di telinga Mama dan Papaku.
Memang sejak kecil Aku terbiasa dengan aktifitas yang padat, selain sekolah setiap pagi ada saja agenda yang harus aku lakukan di sore dan malam hari. Hal ini sudah kutekuni dari SD hingga SMA. Entah itu les bahasa Inggris, Latihan Pidato atau Puisi, Latihan karate, Rapat Organisasi dan sebagainya. Kalaupun sore dan malamku kosong Aku pasti tetap akan keluar rumah untuk sekedar bersilaturrahim ke rumah teman-teman dekatku. Tak heran ketika Mamaku marah saat Aku melakukan kesalahan, Mama sering menyebutkan Aku bak tamu hotel dalam rumah, yang mana rumah hanya kujadikan tempat untuk tidur, makan, mandi dan tentu saja setelah mengerjakan pekerjaan rumahku –maklumlah aku anak pertama dari 3 bersaudara- Aku segera pergi lagi meninggalkan rumah ke tempat mana saja sesuai penjelasanku pada Mama saat berpamitan. Tapi itulah Aku, dan Aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat pengertian dengan aktifitasku di Luar.
Sampai ketika Aku kembali ke Sekolah di hari keempat sekolah, Aku dikejutkan dengan keputusan Kepala Sekolah dan Wali Kelasku yang sulit Aku terima.
“Fitri, kamu dan Hardianto yang akan menjadi duta sekolah mewakili Sekolah ini dalam ajang itu, Bapak harap kalian dapat memberikan yang terbaik untuk Sekolah ini. Sebagai Putra dan Putri Sekolah kalian sudah teruji juga terbukti keunggulannya dari teman-teman kalian yang lain. Akan banyak teman-teman kalian yang bersama kalian mewakili Sekolah tapi harapan Bapak ada pada kalian, bapakpun tidak ingin mematahkan semangat teman-teman kalian untuk bersaing secara sehat dengan kalian, sehingga tak mungkin bapak melarang mereka untuk ikut. Bapak harap kalian bisa memberi contoh yang baik kepada teman-teman kalian, bimbing mereka, saling menjaga dan mengingatkan saat kalian dikarantina nanti. Ingat, berikan yang terbaik untuk sekolah kita. Bapak ucapkan selamat bertugas”. Kata Kepala Sekolah menjelaskan semuanya.

***
Saat pulang sekolah, Anto mencoba mendekatiku ada hal aneh yang tidak biasanya Ia lihat denga diriku.
            “Fit, kenapa mukamu kusut begitu? Butuh setrika ya?” Anto mengajakku bercanda.
“Hhhhhhhh, Anto. Seandainya Kamu tahu.” Kutarik nafas panjang, seakan ada beban yang tak sanggup ku pikul.
“Ada apa, Fit?” Tanya Anto Penasaran.
“Bisa-bisanya kamu menerima keputusan kepsek tadi tanpa alasan satu katapun?” Tanyaku dengan nada sedikit tinggi. Kesal pada Anto.
“Fitriiii, Fitriiii. Seandainya juga kamu tahu. Ini nilai Fit. Kamu mau tidak naik kelas hanya gara-gara perkara ini? Akupun tak sepenuhnya mau mengikuti ini. Hanya karena amanah yang ku pegang sekarang bersamamu Fit. Lagian kemarin0kemarin kamu kemana? Aku butu mendiskusikan ini sebelumnya denganmu. Kamu tak masuk sekolah hingga kemarin. Maka jangan heran jika keputusan bapak seperti itu.” Sanggah Anto tak mau disalahkan.
“Maksudmu?”tanyaku tambah bingung.
Langkah kami berdua terhenti tepat di Depan Mushalah sekolah. Tatapku dalam penuh tanya ke arah Anto. Aku seakan merasa ada hal yang Ia sembunyikan padaku. Akupun tak bisa menerima keputusan ini begitu saja, hal yang aneh memang menurut teman-temanku. Karena bagi mereka ini hal yang wajib untukku dan Hardianto dalam mewakili sekolah di event-event apapun sebagai Putra dan Puti Sekolah di Tahun ini. Sayang mereka tidak tahu bahwa aku punya alasan tersendiri yang membuatku sangat dilema di terik siang yang sangat menyengat ini. Tak mau dicurigai olehku Anto mengajakku untuk berbincang sejenak di tersa Mushalah sebelum pulang. Untuk menumpahkan segala kekecewaanku padanya Aki tak menolak ajakannya.
“Fit, panitia acara ini sudah datang ke sekolah dari 3 hari yang lau. Teman-teman banyak yang ikut, tak mungkinlah kita berdua tidak dilibatkan. Aku hampir tiap hari menghadap k Wali Kelas dan Kepala sekolah, Aku sampaika akan menunggumu untuk mengambil keputusan. Karena kita partner kerja. Selama 3 hari Aku berhadapan dengan kata-kata dewan guru, mereka menganggap kita takut mengikuti ajang ini, mereka menganggap kita tidak bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah ini, bahkan sampai kata-kata pedas tentangmu yang tak sanggup ku dengar, katanya kau tak bisa memenangkan event ini karena kau berjilbab. Sekolah kita akan malu jika kita berdua perwakilannya. Tapi sebagian guru mendukung kita Fit, apalagi Kepala sekolah. Hingga akhirnya beliau sampaikan jika Kamu masuk sekolah, segera menghadap keruangannya. Tapi tak kusangka beliau akan berbicara seperti tadi tanpa menanyakan kesiapanmu dulu. Namun apapun alasan kita, ini tanggungjawab kita Fit, Finalis 3 besar sekolah lainnya tetap mewakili sekolah apalagi kita berdua Fit. Tolong dipertimbangkan Fit. Aku juga sebenarnya masih dilema.”
“Anto, Maafkan Aku, tapi sepertinya Aku tak bisa. Aku mohon maaf selama 3 hari tak masuk karena ada agenda di Luwuk. Kamu tahu kan ini tahun baru mahesi tidak ada kapal yang menyebrang kesini karena orang-orang pada liburan. Semalam Aku dan teman-teman baru dapat tiket kapal, makanya Aku baru bisa masuk sekolah sekarang, Aku sungguh terkejut dengan keputusan ini. Anto, kamu tahu kan, aku ingin berubah. Kenapa selalu saja banyak tantangan untuk mempertahankan ini? Ya Allah.”
“Fit, Aku mengerti maksudmu. Tapi Kamu tidak seharusnya memaksa orang mengerti dengan keinginanmu. Sekarang saatnya kita buktikan kepada orang-orang yang mencela kita bahwa kita tidak seperti yang mereka katakan. Ayo Fit, kita pasti bisa.”Kata Anto memberikan semangat padaku.
***
Hari pertama karantina. Hari yang sangat tak mengenakkan bagiku. Dilema. Semua peserta telah berkumpul di lapangan beringin di sore yang cukup terik ini. Aku berusaha menyembunyikan rasa tidak sukaku pada mereka. Aku mencoba menikmati jam demi jam yang kulewati bersama mereka. Karena memang pada dasarnya Aku tidak begitu merasa sulit untuk bergaul dengan orang baru, hampir semua peserta pada saat itu sudah ku kenal, kitapun terlihat akrab. Ku coba menjalani waktu di sore ini dengan bijaksana agar orang-orang di sekelilingku tetap merasa nyaman dengan keberadaanku. Latihan dimulai dengan saling memperkenalkan diri, lumayan mengasikkanlah bagiku, banyak teman dan banyak pengalaman memang itu yang kusuka. Selanjutnya kita di ajarkan cara berjalan di atas catwalk, sebenarnya Aku, Anto dan beberapa teman yang juga mantan finalis Putra-Putri Putih Abu-Abu di Sekolahku sudah pernah memperagakannya, bisa dikatakan kita sudah biasa, berbeda dengan peserta yang lain yang mungkin baru kali ini menemukannya. Namun ada hal aneh yang kurasa saat ini, sepertinya pekerjaan ini terasa baru untukku. Sambil berjalan mantap di atas catwalk, dengan tatapan tajam namun anggun, semua peserta putri terlihat ayu dan menunjukkan bakat masing-masing, begitupun halnya bagiku. Namun entah mengapa aku teringat pada rekan-rekan juangku, ta’lim di setiap senin dan kamis sore sambil berbuka puasa bersama, seandainya mereka ada disini dan melihat apa yang sedang Aku perbuat. Namun, siapapun yang ku takutkan untuk melihatku Allahlah yang maha melihat. Ya Allah, Aku bingung. Lamunanku terhenti ketika Aku tekejut saat seorang panitia menyebut namaku, Ia menegur seorang peserta yang terlihat masih agak kaku dalam berjalan Ia meminta peserta lainnya memperhatikan gerakan dan caraku berjalan. Ya Allah seandainya mereka tahu apa yang kurasakan. Pergulatan hatiku tak berhenti di situ saja. Suasana semakin menegangkan ketika kita diminta berlomba mengenakan highheels dan berlari di atas catwalk. Ini tentu saja tantangan yang sangat sulit, berjalan saja masih butuh waktu untuk bisa terlihat seperti yang panitia inginkan apalagi berlari. Seketika itu Aku terjatuh dengan higheelsku, dengan muka yang yang merah padam aku menahan malu. Sambil berusaha berdiri secepatnya. Dan.
“ Huuuuuu, makanya. Perhatikan dengan baik arahan instruktur.” Kata seorang panitia dengan sangat judes. “ Besok buka saja kaos kakimu itu, itu yang membuatmu susah berjalan dan sering terpeleset, Kamu tidak mau kan, jatuh di depan penonton yang begitu banyaknya hanya karena kaos kaki. Bukankah tanpa kaos kaki lebih indah, biar penonton bisa menikmati bagaimana jari-jarimu yang manis itu mengenakan higheels dipadukan dengan lenggak lenggok yang indah. Dengan begitu penonton akan lebih terhibur.”
“Astagfirullahaladziiim.” Bisikku pelan, hampir saja bathinku tak tahan lagi berada di tempat itu. Ingin segera berlari kencang menjauh dari tempat ini. Tak sengaja aku melihat Hardianto, ia memandangku sambil mengusap tangannya ke dadanya. Aku yakin ia pasti mengerti yang kurasakan.
Hatiku marah, ingin memberontak. Ingin sekali kuberitahu bahwa Aurat untuk muslimah yaitu seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Ya Allah, bagaimana aku bisa bertahan dengan kondisi seperti ini.

***
“Assalamu’alaikum, Halo.”
“Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Fitri, dimana Nak? Kenapa belum sampai di tempat karantina?.”
“Lagi di rumah teman Pak.”
“Oh, pantas saja. Tadi Bapak Wakasek ke rumahmu, katanya kamu tidak di rumah. Bapak meminta beliau menjemputmu di rumah karena menurut teman-teman kamu belum ada di tempat karantina. Padahal mereka sudah memulai latihan dari setengah jam yang lalu. Fitri, sore ini kalian gladi bersih, besok malam harus tampil. Bapak yakin kamu dan teman-teman pasti bisa membawa nama baik sekolah. Bapak percaya padamu.”
Aku tak menyangka Kepala Sekolah akan menelponku di sore itu, padahal sudah kurencanakan untuk bersembunyi di rumah ketua Korps PIIwati (ketua ta’lim kita di setiap pekan) sambil mengkonsultasikan masalahku. Aku berharap si Kakak ini memberikan arahannya tentang apa yang harus aku lakukan. Ia mengerti aku berada di posisi sulit. Di satu sisi aku harus menjalankan kewajibanku sebagai duta sekolah namun yang lebih penting aku harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba, dan bukakah itu yang lebih utama?
***
“Baiklah, gladi sore ini selesai. Kita ketemu besok sore jam 4, di Salon Ully. Jangan ada yang terlambat lagi yah.” Kata ketua Instruktur.
“Baik, Kak.” Jawab semua peserta.
“Namun, sebelum kalian kembali. Apa ada pertanyaan mengenai pakaian yang akan kalian pakai nanti. Kak Tia, tolong dibagikan kostum mereka !” Tambahnya, sambil meminta seorang instruktur membagikan kostum.
“Perhatian ! di malam pertama penampilan kalian, kalian akan menggunakan pakaian Casual, jadi untuk putra, atasan putih dengan bawahan celana jeans dan untuk putri atasan pink dengan bawahan celana jeans juga.” Jelasnya lagi
Glekk.. Sesaat aku tersentak. Hatiku mulai tak tenang. Apalagi saat melihat kaos yang di bagikan pada teman-teman peserta putri kaos berlengan pendek semua. Aku tak sabar menunggu giliranku.
“Maaf Kak. Bagaimana kalau peserta yang tidak punya celana Jeans?” Kataku spontas sambil mengangkat tangan kananku.
“hah? Maksudnya?.” Tanya Kakak instruktur itu heran padaku. Mungkin ia baru menemukan spesies yang aneh sepertiku. Hehe. Hari gini gak punya celana jeans. Mungkin itu yang ada di pikirannya.
“ Pinjam saja, pasti teman-teman kamu banyak yang punya.” Jawabnya Cuek dan santai.
“ Eehh, maaf kak. Sebenarnya bukan tidak punya, tapiiii tidak suka. Maksudnya, saya tidak suka pakai celana seperti itu.”
Suasana hening. Semua teman-teman menoleh ke arahku. Tatapan mata dari kakak instruktur yang keheranan memaksaku untuk kembali menjelaskan.
“ Maaf, Kak. Sebenarnya bukan juga tidak suka, tapiii...” Penjelasanku terhenti. Aku memutar otak. Kata apa yang harus kugunakan agar tidak membuat mereka tersinggung dengan penjelasanku. Mereka tak sabar menunggu.
“ Tapi, tidak diizinkan sama orang tua saya, Kak.” Jelasku singkat.
Kakak instruktur itu tambah heran mendengarkan penjelasanku. Dan tiba-tiba.
“PLAKK” kaos pink masih terbungkus rapi dengan plastiknya jatuh tepat di depanku. Mungkin kakak yang membagikannya sedikit terkejut mendengar alasanku tak bisa memakai celana jeans. Sehingga caranya memberikan baju itu padaku terlihat kasar. Teman-teman peserta lain semakin memperhatikan gerak-gerikku. Segera kusambar baju di depanku itu, lalu kubuka untuk memastikan kaos sepeti apa yang harus kupakai. Ternyata sama seperti peserta putri lainnya. Ini sunggu membuatku semakin ingin memberontak. Namun ku urungkan dulu niatku. Kutarik napas panjang. Ya Allah, kuatkan aku.
“Maaf, kak. Kaosnya, ada yang lengan panjang? Soalnya saya pakai kerudung”. Tanyaku pelan, sambil menyodorkan senyuman yang nampak terpaksa, sadar bahwa akulah pusat perhatian pada saat itu.
“Kaosnya semua sama untuk peserta putri, kan bukan Cuma kamu yang pakai jilbab kan, Fitri.” Jawab kakan istruktur lagi. Kali ini dengan nada agak sedikit tinggi.
“Tapi kak. Kita yang pakai kerudung masa harus sama pakaiannya dengan yang tidak, kan kita harusnya pakai baju lengan panjang?” tanyaku lagi. Kali ini aku cuek saja. Apapun jawaban mereka. Sepertinya aku kehilangan kesabaran untuk membantahnya.
“Kan kalian bisa pakai manset, tidak tahu manset ya? Ini yang seperti saya pakai.” Sambil menunjukkan bajunya yang memang berlengan pendek dan disambung dengan manset hitam. Jawaban ibu yang sedari tadi memperhatikanku itu, sangat menusuk bagiku. Bagaikan tusukan bunuh diri, seperti gayanya memakai kerudung yang biasa ku sebut ‘kerudung bunuh diri’ (Gaya kerudung yang dililitkan dileher, yang membuat pemakainya agak  kesulitan bernafas). Kali ini aku tak mau menyerah.
“ Maaf bu. Bukan tidak tahu manset. Tapi, saya benar-benar mohon maaf, Kalau yang seperti ibu pakai itu, di rumah saya banyak kok, warna apapun ibu mau Insya Allah ada. Modelnyapun macam-macam, karena saya memang sering pakai. Tapi setahu saya manset itu gunanya untuk menutupi aurat kita dibagian pergelangan tangan, agar walaupun kita memakai baju yang lengannya agak longgar, tangan kita masih tertutup dan terlindungi. Bukan untuk menyambung baju lengan pendek menjadi lengan panjang.” Jawabku sedikit kesal.
“Fitri, kamu di sini peserta, ada panitia yang mengatur kalian. Jadi tolong ikut semua aturan yang sudah dibuat oleh panitia ya”. Kata ketua panitia sambil berjalan ke arahku.
“ Iya, Pak. Sebelumnya saya mohon maaf. Mungkin bapak agak tersinggung dengan apa yang saya katakan tadi. Memang betul sebagai peserta saya harus ikut aturan main dari panitia. Sayapun tidak memaksakan diri untuk bisa ikut pemilihan ini. Kalau memang saya dianggap tidak memenuhi syarat dan terlalu banyak membantah, saya mohon maaf pak. Saya juga siap untuk tidak diikutsertakan dalam pemilihan ini. Saya sadari bahwa saya tidak bisa mematuhi semua aturan panitia.” Jawabku tenang. Sambil duduk kembali.
Dalam hatiku, ingin ketua panitia tadi segera memutuskan bahwa aku boleh tidak ikut acara ini. Teman-teman saling bertatapan, lalu menoleh ke arahku.Namun hal lain yang terjadi. Setelah salah seorang bapak kembali ke arah kami berkumpul, sepertinya Ia baru saja menelpon seseorang, lalu berbincang dengan ketua panitia. Dan.
“ Fitri, kamu boleh pakai apa yang kamu suka, yang penting kamu tetap ikut acara ini apapun yang terjadi, itu pesan Kepala Sekolah.” Ucapnya. “Panitia, tolong kaos untuk putrinya, 1 yang lengan panjang ya”. Sambil mengambil kaos ditanganku dan menyerahkannya pada panitia lain untuk digantikan.
“Terimakasih, pak. Tapi apakah ini tidak adil untuk teman-teman yang juga memakai kerudung?” Jawabku sambil memandang 4 orang peserta putri lainnya.
“ Bagaimana yang lain?” Tanya Bapak itu ke mereka.
Mereka hanya menggeleng. Sepertinya mereka tampak setuju dengan keputusan panitia. Belakangan aku tahu, salah satu dari mereka ingin juga sepertiku tapi takut panitia kan semakin marah. Maka terpaksa ia menerima begitu saja tanpa kata.

***
Malam itu, menjadi malam yang menegangkan bagiku. Apalagi saat perkenalan dan menjawab pertanyaan yang diundi untuk semua yang diambil dari toples cantik tepat di tengah panggung. Sangat menegangkan ketika aku harus menjawab pertanyaan yang tertuju padaku. Namun, aku bisa menyelesaikannnya dengan baik dan rapi, itu komentar Ayahku saat kutanya Malam itu. Paling tidak aku tidak mengecewakan semua pihak yang telah membantuku tampil malam ini. Mulai dari teman-teman ta’limku yang mencari jejak kaos kaki pink yang senada dengan bajuku, jilbab pink yang kukenakan namun tetap syar’i (menutupi leher dan dada, tidak longgar dan tidak transparan) dan Ibuku yang bergegas ke tempat cakar mencari rok jeans yang tidak sempit namun tetap modis. Yang aku tak tahu apakah penampilanku masih tetap syar’i dengan bertabarruj (berhias diri secara berlebihan) yang kulakukan, walaupun hal itu dilakukan oleh pegawai salon tempat kita di-make over. Hanya pada Allah aku berserah diri. Kepala sekolah menyatakan kepuasan melihat penampilan kami para perwakilan sekolah utamanya aku dan hardianto. Sayangnya beliau tidak tahu apa yang aku rasakan.

***

Mungkin Allah ingin menguji kesungguhanku untuk berjilbab, pengumuman dari penampilan pertama, sangat jauh dari harapanku. Pengumuman yang dikirim via sms ke seluruh peserta itu tiba-tiba menggemparkan seisi ruang dewan guru yang sedari tadi para guru dan peserta berkumpul menunggu pengumuman itu. Maka penderitaanku di babak kedua akan segera dimulai.
***
“Baik, latihan sore ini selesai, kita ketemu lagi besok sore di salon Ully pukul 4 sore, seperti biasa. Jangan lupa pelajari materi yang sudah diberikan dan siapkan mental, kalian akan menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah. Belum bisa ditentuka sekarang karena disana baru bisa ditentukan kalian akan pakai baju adat apa.” Jelas ketua panitia di akhir gladi
Keesokan harinya.
Aku sibuk mencari jilbab kecil yang bisa jadi dalaman dan untuk memudahkanku di ruang make up. Aku khawatir akan ada kles lagi, makanya 3 jam sebelum waktu yang ditentukan aku sudah bergegas ke salon dan mencari tahu baju apa yang akan ku pakai. Ternyata pakaian adat Bajo adalah pakaian adat yang dipilhkan untukku, pakaian yang tidak perlu banyak assesories dan tidak banyak hiasan di kepala sehingga tak ada alasan mereka untuk memaksaku melepas kerudungku. Aku sempat shock mendengar tawaran dari si pegawai salon itu, Ia memintaku untuk melepas kerudungku agar Ia lebih mudah menghias kepalaku dengan segala pernak pernik sesuai adat Bajo, katannya tak apalah dilepas sebentar, kan hanya untuk malam ini saja. Dalam hati aku bergumam, bukankah malam ini aku dan teman-teman akan disaksikan beratus pasang mata penonton se-Kabupaten, belum lagi tim cameramen yang kan selalu mengintai kemanapun kita melangkah, percuma dong selama ini aku berusaha melindungi diri dan menutup aurat kalau aku tetap mau menerima tawaran panitia, walaupun memang hanya untuk malam ini. Setelah diskusi yang panjang hampir 4 jam lebih aku mempertahankan mauku, akhirnya mereka menerima juga dengan catatan kerudungku harus ku pakai sendiri karena memang mereka tidak menginginkan hal itu sebenarnya,  ini karena aku mengancam untuk tidak tampil di 5 besar malam ini. Karena merasa tidak mungkin jika finalis 5 besar, tanpa 1 orang finalis putri mereka terpaksa ikut permintaanku, dan tentu saja Ibu dan ibu wali kelasku yang membantuku memasangkan kerudung di malam itu. Sungguh aku sudah sangat merepotkan mereka. Berharap cerita ini sampai disini saja. Ya Allah kuatkan aku menghadapi ujian dariMu.
***
            “ Dan selanjutnya, kita nantikan penampilan dari 3 Besar finalis Putra Putri Nusantara Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2008, mari kita sambut dengan tepuk tangan meriah” Kata Mcnya menyambut kehadiran 3 pasang finalis di atas panggung.
            Langkah ayu dan pelan diiringi instrumen lagu ‘Banggai tano monondok’ satu persatu dari finalis tampil di tengah-tengah penonton yang disambut dengan riuh tepuk tangan yang tak henti-henti. Kulihat samping kanan dan kiriku, finalis putri dengan gaun malamnya. Ya gaun malam. Dan kalian tahu apa yang terjadi dengaku?
            Aku tak memperdulikan hasil pengumuman dari penampilan malam ini, yang aku fikirkan, betapa kesyukuranku yang sangat mendalam kepada Allah, betapa aku masih sangat dilindungi, dijaga dan disayang ketika diberi ujian seperti ini, Aku berharap aku bisa lolos menurut penilaian Allah, tak peduli penilaian dewan juri. Bahkan ketika diumumkan Aku Runner Up II di Pemiliha Putra Putri Nusantara Kab. Banggai Kepulaian tahun 2008 ini, aku sama sekali tidak mempedulikannya, tak ada masalah bagiku walaupun alasan dewan juri bahwa warna kaos kakiku tak sesuai dengan warna pakaian yang kupakai, kostumku tidak nyambung, kurang seksi dan alasan-alasan lainnya. Tapi 1 hal yang dapat kubanggakan kemampuanku menganalisis masalah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dewan juri menjadi alasan pada dewan juri untuk tetap mempertahankan aku di ajang ini. Komentar yang sangat aku garis bawahi, ucapan selamat dari salah seorang juri (padahal beliau nonmuslim) bahwa Ia salut padaku, aku telah merubah mindsetnya bahwa muslimah yang berjilbab tetap bisa berpretasi tanpa harus melepaskan komitmennya untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Ini terbukti dari predikatku selain Runnur Up II, juga sebagai Putri Favorite pilihan penonton dan Putri Persahabatan pilihan peserta. Sang juara di Mata manusia belum tentu juara di mata Allah dan Juara di Mata Allah belum tentu juga juara di mata manusia.

dalam sujud kesyukuran.
Palu, 23 April 2012

             

1 komentar:

  1. ana baru tau, ukh.. kalo spt ini alur kisahnya(jika mmg spt itu yg terjadi sebenarnya)..
    tp, smw itu jdikan pelajaran,itu smw sdh berlalu..
    muslimah jg bs berprestasi bkn hanya lwt ajang spt itu, tp jg bs dgn tulisan yg anti buat, atw jurusan yg anti skrg pelajari..

    BalasHapus