Sabtu, 28 April 2012

Cerpenku II. Telah kutemukan


Telah ku temukan
Oleh : Nadia Azzahra Apok


Semua berawal ketika Fitrah tak sengaja jadi salah satu panitia SANLAT di Sekolahnya, sebagai pengurus OSIS ini merupakan hal yang wajib untuk turut serta berpartisipasi dalam setiapkegiatan OSIS yang dilaksanakan. Dan perjalanan spiritualnyapun berawal dari sini.

Hari pertama dalam kegiatan SANLAT ini berjalan lancar dan biasa saja, seperti tak ada apa-apanya dan itu pula yang dirasakan Fitrah, Ia menjalankan tugasnya dengan baik, memenuhi kebutuhan para peserta, mengontrol setiap agenda acara sesuai jadwal yang sudah disepakati bersama. Semua tampak baik-baik saja dimata Fitrah. Namun ada hal lain yang mulai Ia rasakan ketika rapat evaluasi panitia di malam pertama itu.

“Assalamu’alaikum Wr. Wb.” Ucap Reza, kakak kelas Fitrah. Dalam kegiatan ini Reza selaku sekretaris panitia.
“Wa’alaikum salam Wr. Wb.” Jawab peserta rapat
“Alhamdulillah, malam ini teman-teman masih bersemangat dan tetap sehat dalam beraktivitas sehingganya tak ada kata yang pantas keluar dari hati kita dan bibir manis kita melainkan ucap syukur kehadirat Allah yang telah menganugerahkan ini semua untuk kita, Tak lupa Shalawat serta salam kita haturkan kepada tokoh proklamator akbar, putra terbaik dunia Rasulullah SAW, beserta para keluarga dan para sahabat. Untuk memanfaatkan waktu, malam ini teman-teman dikumpulkan dalam evaluasi kegiatan seharian tadi. Adapun hal-hal yang ingin teman-teman tanyakan atau sampaikan tentang kegiatan ini, diharapkan untuk diselesaikan dalam forum ini agar semua kita bisa saling terbuka dan saling memberi masukan. Baiklah untuk lebih jelasnya, saya serahkan kepada ketua panitia.” Ucap Reza membuka rapat di malam itu.

“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr Wr” Ucap Hidayat, sang leader dalam kepanitiaan ini. Hidayat juga adalah kakak kelas Fitrah yang kebetulan adalah Kabid di bidang keagamaan OSIS.
 “Baiklah, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya oleh sekretaris, malam ini kita akan evaluasi kegiatan kita mulai dari awal, sejak pembukaan tadi hingga agenda malam ini. Kita mulai dari sekretaris, bendahara kemudian seksi-seksi di bawahnya.” Jelas Ketua paniti

Rapat itu berlangsung dengan serius, dan didominasi oleh anak-anak kelas XI, jelas saja bagi Fitrah dan teman-temannya ini merupakan hal yang baru sebagai anak kelas X di Sekolahnya, sehingga dalam hal berbicara di depan umum, mengeluarkan pendapat saat rapat, juga menanggapi pendapat teman-teman, mereka masih butuh banyak belajar dari kakak-kakak kelas mereka itu. Tak heran jika Fitrah memperhatikan secara detail setiap kakak kelasnya yang berbicara. Dalam hatinya, kapan ya Aku bisa seperti mereka. Rapat berjalan baik-baik saja sampai kemudian.

“Tidak, itu adalah keharusan. Sebagai panitia kita adalah contoh bagi peserta, bagaimana mungkin kita mengajarkan kebaikan sedangkan panitia sendiri tidak memperlihatkan kebaikan itu” Ucap keras seorang perempuan berjilbab lebar dan panjang itu. Belakangan Fitra tahu namanya adalah Sari. Kakak kelasnya di XII IA. Siswa yang tekenal pandai dan tekun.

Suasanapun tiba-tiba berubah, semua mata tertuju pada Sari. Gadis berparas cantik dengan jilbabnya yang terurai rapi.

“Tapi bagaimana dengan panitia yang belum paham dengan itu, kita tidak bisa memaksakannya. Bekerja sesuai tugas masing-masing dengan baik itu sudah cukup. Masalah itu biarkan mereka memahaminya sendiri-sendiri. Bukankah lebih baik jika mereka berubah atas kesadaran pribadi bukan karena paksaan?” Sanggah salah seorang panitia. Wawan. Kakak kelas Fitrah yang satu ini adalah mantan ketua OSIS yang terkenal agamis dan cerdas, tak heran ia sering tampil dengan menggunakan baju koko dan celana berbahan kain bukan jeans.

“Bukan memaksakannya, ini sudah merupakan konsekuensi sebagai panitia. Jangan pernah berharap kita bisa merubah orang (peserta) menjadi lebih baik sedangkan kita (panitia) tidak bisa memberi contoh, hanya dalam 3 hari ini saja, setelah itu dikembalikan pada pribadi masing-masing. Tugas kita menyampaikan kebenaran. Kan yang namanya SANLAT bukan hanya peserta yang di Training tapi segala komponen yang adapun ditraining, baik peserta maupun panitia, pembina kita saja ditraining kok.” Jawab Sari.

 “Baiklah, kalau memang seperti demikian yang teman-teman inginkan. Maka kami memutuskan bahwa harus ada TATIB yang mengikat baik peserta maupun panitia. Untuk panitia kita bahas sekarang juga, silahkan kepada teman-teman jika ada poin-poin yang ingin diajukan.” Kata Reza menengahi adu argumen Sari dan Wawan.

Perdebatan yang cukup sengit antara panitia, hingga akhirnya menghasilkan keputusan TATIB panitia yang mungkin memberatkan bagi sebagian lainnya. Jelas saja ada beberapa hal yang tidak menjadi kebiasaan mereka, seperti: Panita Ikhwan dilarang keras masuk di ruangan Panitia akhwat dan sebaliknya, panitia akhwat dan ikhwan saling menjaga jarak min 1 meter, selalu memakai pakaian rapi dan menutup aurat (bagi akhwat diharuskan memakai rok), panitia ikhwan dilarang merokok di lingkungan sekolah dan lain-lain.

Fitrah berlari kencang menuju ruang panitia akhwat, dibongkarnya tas yang berisi persediaan pakaianya selama tiga hari di Sekolah, tak satupun Ia menemukan rok, Iapun menangis dalam kesendiriannya di ruangan itu yang difikirkannya adalah takut dimarah Kak Sari.
***

Pagi yang cerah ketika sang fajar mulai menampakkan sinarnya, menusuk tajam hingga menembus kulit dan begitu menyehatkan bagi para peserta SANLAT yang sedang berolahraga dipandu oleh panitia. Namun di antara kerumunan rapi orang-orang itu tak terlihat sosok Fitrah. Olahraga dilakukan dengan sangat bersemangat yang dilanjutkan dengan games dari panitia. Matahari yang semakin terik membuat mereka merasakan capek yang luar biasa hingga akhirnya waktu untuk mandi tiba. Tapi tetap saja Fitrah tak nampak di antara meraka. Sari yang dari tadi tak melihat Fitrah menanyakan ke beberapa panitia akhwat yang ditemuinya. Tapi tak menemukan jawaban. Terakhir Ia melihat Fitrah saat rapat evaluasi semalam. Shalat tahajud, Sahur, Shalat subuh dan olahraga tadi Ia tidak melihatnya.
Pukul 08:00 di Pagi itu, terlihat semua peserta telah bersiap-siap mengikuti materi selanjutnya sambil menunggu pemateri pagi itu pesertapun sibuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dari panitia.
***

Sementara itu di tempat lain.
“Fitraaaahh, Fitraaaaahh.” Ucap sari lembut, sambil membuka perlahan pintu ruangan akhwat berharap Fitrah ada di dalamnya. Ia masuk perlahan.

Menyadari ada orang lain di ruangan itu, Fitrah menyembunyikan dirinya di balik lemari di pojok ruangan, matanya sembab dan sedikit bengkak. Ia malu jika harus bertemu orang lain saat itu.

Langkah pelan Sari terdengar mendekati posisi Fitrah. Dengan sangat gugup Fitrah menehan nafasnya, dan berusaha agar tidak ditemukan. Sesaat ketika Sari hendak melangkah dari posisi awalnya, Ia curiga ada sosok gadis di balik lemari itu, Ia mencoba melangkah pelan agar siapapun dibalik lemari itu tidak menyadari keberadaannya. Sari mulai mengendap-endap menuju lemari buku di hadapannya. Fitrah yang tentu saja berada di balik lemari itu makin merasakan takut yang luar biasa, sesekali ia menahan nafasnya berharap jangan sampai ketahuan. Dan.

“Kak Sariiii” Suara di luar ruangan memecah sunyi dan tegang dalam ruangan itu.
“Iya” Sahut Sari.
“Kak Sari di Dalam? Kak, ada yang ingin bertemu kakak.” Lanjut suara itu.
Saripun mengurungkan niatnya, Ia bergegas menuju sumber suara itu. “Iya siapa?” Jawab sari
“Plak” Sebuah buku jatuh dari lemari, tak sengaja Sari melihat sekilas sosok seorang gadis mengenakan kerudung putih,berpakaian putih dan bawahan jeans longgar melintas dan berpindah di balik tirai jendela hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Ingin kembali mengecek hal yang sempat menyita perhatiannya itu, namun suara lain mengejutkannya lagi.
“Kak Sari, Ayo !”
“Oh iya, dimana tempatnya sayang?”
“Di sana kak, diruang guru ada Bapak Kepsek juga di sana. ”
“Baik. Terimakasih ya, Ayu.” Ucap sari dan bergegas ke Ruang yang dimaksud.
Sementara itu, Fitrah yang sedari tadi dalam suasana yang begitu menegangkan.
“Hhhhh, Selamat, selamat.” Ucap Fitrah pelan sambil mengusap-usap dadanya.

Menganggap dirinya aman, segera Ia bergegas membereskan barang-barangnya yang berantakan setelah pergulatan hatinya semalam, konflik bathin masih terus Ia rasakan tapi Ia mencoba menepis semuanya. Yang ada difikirannya sekarang, Ia harus pulang selagi materi pertama sedang berlangsung agar tak ada yang menyadari kepergiannya. Sambil mengendap-endap Ia berjalan keluar ruangan, Ia memeastikan bahwa situasi dan kondidi aman untuknya. Berlari hingga ke halaman depan Sekolah bermaksud menghentikan kendaraan umum untuk segera pulang ke rumah.

“Fitrah??” Panggil Sari setengah heran, sambil berlali ke Arah Fitrah yang sudah siap dengan tas ranselnya.
Langkah Fitrah terhenti, sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh, Ia menoleh ke arah sumber suara.
“Fitrah, kamu kenapa sayang?” Tanya sari dengan penuh cemas.
“Tidak apa-apa kak.” Jawab Fitrah terbata-bata sambil menggelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa bagaimana, mata kamu merah begini, Kita bicara di Mushalah ya” Bujuk Sari dan menuntun Fitrah ke Mushalah.

Pembicaraan yang begitu alot terjadi di sana, keduanya menangis saling bercucuran air mata. Betapa tidak, suasana yang tak pernah dirasakan Fitrah sebelumnya. Dengan ukhuwah dan rasa saling memiliki membuat mereka saling menumpahkan perasaannya, tak ada lagi sekat ataupun celah diantara mereka. Subhanallah.
***
Jilbab pertamaku. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Fitrah saat itu. Cahaya obor dari masing-masing jama’ah yang ingin mengikuti pawai takbiran malam itu menambah suasana menjadi sangat menentramkan hati.Tak lebih lagi sosok seorang gadis dengan balutan kerudung yang sangat rapi berdiri di pojok teras masjid, nampak senyumnya sumringah mendengarkan kumandang Takbir, tanda kemenangan bagi orang-orang beriman. Sebuah kedamaian hati yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata. Subhanallah betapa cantiknya dirimu dengan jilbab itu.

Hari yang Fitri, semua seperti lahir kembali, setelah sebulan menahan dahaga, lapar dan hawa nafsu. Saatnya meraih kemenangan di hari yang Fitri, memulai kehidupan baru, di lembaran baru seperti manusia yang baru saja lahir. Seperti Fitrah yang sedang merayakan kemenangannya atas gejolak perasaannya ketika tertatih menuju Sang Maha Agung, namun Fitrah yakin dan percaya tak sampai disini Ia akan menemukan pukulan-pukulan keras kehidupan, karena setelah kemenangan hari ini, akan ada peperangan hebat lagi untuk kemenangan selanjutnya. Tentu saja.

Satu persatu di sekelilingnya berubah perlahan, Semua karena perubahan yang Ia lakukan dari dirinya. Kata orang faktor lingkungan sangat mempengaruhi kita, tapi bagaimana dengan kita yang dapat mempengaruhi lingkungan? Entahlah.

***

“Halo, merah” Goda seorang pemuda
“Apa, halo-halo??” Jawabnya dengan nada kesal
“Jangan marah-marah cantik” Tambah pemuda itu lagi
“Emang Gua Pikirin”

***

Pernah juga saat Ia sedang berjalan berdua degan temannya, pulang les dari sekolah.
“Halo yang di Tengah” Sapa seorang pemuda
Saling bertatapan heran.
“Minta nomor HP dong, nanti malam kita jalan ya” Kata pemuda yang lain lagi.
***

Berbeda sekali dengan yang saat ini Ia rasakan, tak ada lagi pemuda jahil yang menggangginya ketika sedang melintasi perempatan jalan, walaupun tampak sekumpulan pemuda yang nongkrong di deker jalanan, bahkan yang biasa menggodanyapun tampak segan seketika kala melihat penampilannya saat ini, kalupun tetap ada, berganti dengan sapaan yang lebih sopan. Seperti ucapan salam atau pertanyaan hendak kemana, yang tentu saja tidak membutuhkan jawaban jutek seperti yang biasa Ia lakukan. Ia juga mulai menjaga ucapannya, memikirkan lebih dulu apa yang hendak Ia katakan, bertuturkata yang baik pada semua orang, menundukan pandangan, dan mulai menghargai sesama teman. Teman-teman bergaul di Sekolah juga di Sekitar rumahpun seakan tersihir tiba-tiba ketika berinteraksi dengannya. Mereka yang dulunya pernah berebut untuk mendapatkan suatu benda hingga bersentuhan antara lelaki dan perempuan bukan muhrimpun tak terhindarkan, berganti mereka yang lebih mendahulukan Fitrah untuk memperolehnya. Sama halnya ketika ingin masuk dalam sebuah ruangan misalnya, terkadang mereka main serobot saja atau bahkan berdesakkan di pintu berganti mereka yang mengalah dan mempersilahkan Ia masuk terlebih dahulu. Subhanallah. Ketika kita mencoba mincintai Allah maka cinta Allah pada kita akan nampak semakin jelas. Ia tampak lebih anggun dengan pakaiannya yang menutupi auratnya. Tampak lebih bersahaja dengan tuturkata baiknya. Hingga tak ada yang menyangka pada suatu hari.
“Fitrah, ini semua kakak kumpulkan dari kakak-kakak senior kita yang sudah lulus tahun kemarin, mereka ikhlas memberikannya padamu, kakak sudah ceritakan semua tentangmu, tak ada satupun yang tidak teharu bahkan sampai menangis mendengarkan cerita kakak. Kakak harap kamu bisa menerimanya dengan ikhlas pula, karena kami semua sayang padamu, Fitrah” Ucap Sari panjang lebar, saat Ia bertamu ke Rumah Fitrah.

Dimana ada kemauan di situ ada jalan, asal kita bersungguh-sungguh meraih hidayahnNya, meski tertatih dan kadang harus berhenti untuk mengumpulkan sisa tenaga dalam mengarungi jalan kehidupan yang begitu keras. Pecinta sejati akan tetap berusaha meraih CintaNya walau bagaimanapun keadaannya, sehingga dalam belukar, ditengah setapak yang sempit dan di arung gelombang akan menemukan Cinta dan HidayahNya.

Bagaimana mungkin : Perawat menulis resep??

" Ibu Laras" Panggilku pada pasien yang sedang menunggu antrian obat di depan ruang apotek.
"Iya, saya." Jawab seorang Ibu bermuka pucat sambil melangkah ke arahku.
"Ibu, ini obatnya diminum 3 X 1 ya, yang ini vitaminnya diminum 1 X 1 saja, yang ini obat penurun panas, jika panasnya sudah turun tidak perlu diminum lagi, untuk yang satu ini, namanya antasid, ini diminum 1 jam sebelum makan." Terangku kepada sang Ibu.
"Oh iya, baik nak. terimakasih." Jawab ibu itu lagi.
"Sama-sama, Bu. Cepat sembuh ya" Dan ibu itupun berlalu hingga sebelumna iya membalas senyumku.

  Suasana di ruang apotek di Pagi itu nampak sibuk dengan resep masing-masing. Kedua rekanku dari kampus yang sama dengan dua rekan lain dari kampus berbeda namun dengan jurusan yang sama baru saja terlibat debat hebat atas resep yang baru saja kulayani tadi. Bagaimana tidak bagi mahasiswa farmasi yang baru saja turun PKL di Puskesmas adalah hal yang baru untuk kemudian memberikan pelayanan farmasi terhadap pasien dengan turun langsung ke Lapangan dan berinteraksi langsung dengan segala komponen dalam pelayanan farmasi. Salah satu tantangan yang sama kami hadapi yaitu membaca resep dari Dokter. Tapi aku yakin dan percaya jika kita melatih diri dengan tekun dan bersungguh-sungguh akan terbiasa membaca resep dari dokter yang memang sedikit sulit untuk ditafsirkan namun itulah salah satu pekerjaan seorang farmasis. Dua hari sudah aku dan teman-teman melayani pasien dalam memberikan obat-obat mereka, namun selalu saja kita menanyakan langsung pada Apoteker karena takut salah membaca resep, maklum kita memang masih pada tahap pembelajaran. Karena akan sangat beresiko jika hal ini tidak kita konsultasikan lebih dulu. Sampai kemudian.
"Fit, coba lihat resep nih?" Kata Dian padaku.
"Wah, mantap ini. Kalau begini semua tulisan dikter di resep kita tidak akan kesulitan membacanya" Kataku takjub setelah melihat resep yang ada di tangan Dian temanku.
"Wah, jangan-jangan Dokternya masih muda?" Sambung Aziza.
"Kak Ari, ini Dokternya di Poli Lansia, masih Muda ya?" Tanyaku pada kak Ari sang Apoteker di Puskesmas itu.
"hhhmmm, liat saja sendiri" Sambil tersenyum pilu.

***
Pantas saja resepnya mudah kubaca, ternyata yang piket pada saat itu adalah seorang perawat junior yang belum lama bekerja di Puskesmas itu.
Apakah perawat bisa menulis resep untuk si pasien?
Bagaimana dengan Interaksi obatnya?
Kemana sang dokter?

PKM, 25 April 2012...

Cerpenku I. Sang Runner Up II


SANG RUNNER UP II
Oleh : Nadia Azzahra Apok

Tim seleksi dari Panitia Pemilihan Putra Putri Nusantara 2008 berkunjung ke Sekolahku, dengan maksud mencari siswa-siswi berbakat dan cerdas untuk menjadi duta pariwisata di Kotaku. Hari pertama masuk sekolah setelah liburan Natal dan Tahun baru itu diwarnai dengan desas desus siapa yang akan mewakili sekolahku pada  event kali itu. Banyak teman-temanku yang merasa dirinya memenuhi persyaratan yang diminta panitia segera mendaftarkan diri mereka. Akupun salut dengan kepercayaan diri mereka. Hingga kemudian suasana sedikit ricuh di ruang kepala sekolah ketika akan ditetapkan siapa perwakilan inti duta Sekolah yang akan mewakili sekolah di event ini, karena banyaknya teman-teman yng mendaftar membuat sedikit kong kalikong di kalangan guru-guru pada saat itu. Aku belum mengetahui hal ini, sampai kemudian aku dikabari oleh seorang teman tentang event ini. Perasaanku saat itu biasa-biasa saja, karena tak ada sama sekali niatku untuk mengikuti ajang ini. Saat itupun Aku sedang berada di Luar kota karena memang ada agenda penting yang aku hadiri di sana, pertemuan pelajar Muslim dari beberapa Kabupaten se-Prov. Sulteng. Alasan jimatku pada Mama dan Papa ketika meminta izin bahwa Aku mewakili teman-teman pelajar se-Kabupaten saat itu, padahal biasa saja bagi teman-teman organisasiku namun terdengar luar biasa di telinga Mama dan Papaku.
Memang sejak kecil Aku terbiasa dengan aktifitas yang padat, selain sekolah setiap pagi ada saja agenda yang harus aku lakukan di sore dan malam hari. Hal ini sudah kutekuni dari SD hingga SMA. Entah itu les bahasa Inggris, Latihan Pidato atau Puisi, Latihan karate, Rapat Organisasi dan sebagainya. Kalaupun sore dan malamku kosong Aku pasti tetap akan keluar rumah untuk sekedar bersilaturrahim ke rumah teman-teman dekatku. Tak heran ketika Mamaku marah saat Aku melakukan kesalahan, Mama sering menyebutkan Aku bak tamu hotel dalam rumah, yang mana rumah hanya kujadikan tempat untuk tidur, makan, mandi dan tentu saja setelah mengerjakan pekerjaan rumahku –maklumlah aku anak pertama dari 3 bersaudara- Aku segera pergi lagi meninggalkan rumah ke tempat mana saja sesuai penjelasanku pada Mama saat berpamitan. Tapi itulah Aku, dan Aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat pengertian dengan aktifitasku di Luar.
Sampai ketika Aku kembali ke Sekolah di hari keempat sekolah, Aku dikejutkan dengan keputusan Kepala Sekolah dan Wali Kelasku yang sulit Aku terima.
“Fitri, kamu dan Hardianto yang akan menjadi duta sekolah mewakili Sekolah ini dalam ajang itu, Bapak harap kalian dapat memberikan yang terbaik untuk Sekolah ini. Sebagai Putra dan Putri Sekolah kalian sudah teruji juga terbukti keunggulannya dari teman-teman kalian yang lain. Akan banyak teman-teman kalian yang bersama kalian mewakili Sekolah tapi harapan Bapak ada pada kalian, bapakpun tidak ingin mematahkan semangat teman-teman kalian untuk bersaing secara sehat dengan kalian, sehingga tak mungkin bapak melarang mereka untuk ikut. Bapak harap kalian bisa memberi contoh yang baik kepada teman-teman kalian, bimbing mereka, saling menjaga dan mengingatkan saat kalian dikarantina nanti. Ingat, berikan yang terbaik untuk sekolah kita. Bapak ucapkan selamat bertugas”. Kata Kepala Sekolah menjelaskan semuanya.

***
Saat pulang sekolah, Anto mencoba mendekatiku ada hal aneh yang tidak biasanya Ia lihat denga diriku.
            “Fit, kenapa mukamu kusut begitu? Butuh setrika ya?” Anto mengajakku bercanda.
“Hhhhhhhh, Anto. Seandainya Kamu tahu.” Kutarik nafas panjang, seakan ada beban yang tak sanggup ku pikul.
“Ada apa, Fit?” Tanya Anto Penasaran.
“Bisa-bisanya kamu menerima keputusan kepsek tadi tanpa alasan satu katapun?” Tanyaku dengan nada sedikit tinggi. Kesal pada Anto.
“Fitriiii, Fitriiii. Seandainya juga kamu tahu. Ini nilai Fit. Kamu mau tidak naik kelas hanya gara-gara perkara ini? Akupun tak sepenuhnya mau mengikuti ini. Hanya karena amanah yang ku pegang sekarang bersamamu Fit. Lagian kemarin0kemarin kamu kemana? Aku butu mendiskusikan ini sebelumnya denganmu. Kamu tak masuk sekolah hingga kemarin. Maka jangan heran jika keputusan bapak seperti itu.” Sanggah Anto tak mau disalahkan.
“Maksudmu?”tanyaku tambah bingung.
Langkah kami berdua terhenti tepat di Depan Mushalah sekolah. Tatapku dalam penuh tanya ke arah Anto. Aku seakan merasa ada hal yang Ia sembunyikan padaku. Akupun tak bisa menerima keputusan ini begitu saja, hal yang aneh memang menurut teman-temanku. Karena bagi mereka ini hal yang wajib untukku dan Hardianto dalam mewakili sekolah di event-event apapun sebagai Putra dan Puti Sekolah di Tahun ini. Sayang mereka tidak tahu bahwa aku punya alasan tersendiri yang membuatku sangat dilema di terik siang yang sangat menyengat ini. Tak mau dicurigai olehku Anto mengajakku untuk berbincang sejenak di tersa Mushalah sebelum pulang. Untuk menumpahkan segala kekecewaanku padanya Aki tak menolak ajakannya.
“Fit, panitia acara ini sudah datang ke sekolah dari 3 hari yang lau. Teman-teman banyak yang ikut, tak mungkinlah kita berdua tidak dilibatkan. Aku hampir tiap hari menghadap k Wali Kelas dan Kepala sekolah, Aku sampaika akan menunggumu untuk mengambil keputusan. Karena kita partner kerja. Selama 3 hari Aku berhadapan dengan kata-kata dewan guru, mereka menganggap kita takut mengikuti ajang ini, mereka menganggap kita tidak bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah ini, bahkan sampai kata-kata pedas tentangmu yang tak sanggup ku dengar, katanya kau tak bisa memenangkan event ini karena kau berjilbab. Sekolah kita akan malu jika kita berdua perwakilannya. Tapi sebagian guru mendukung kita Fit, apalagi Kepala sekolah. Hingga akhirnya beliau sampaikan jika Kamu masuk sekolah, segera menghadap keruangannya. Tapi tak kusangka beliau akan berbicara seperti tadi tanpa menanyakan kesiapanmu dulu. Namun apapun alasan kita, ini tanggungjawab kita Fit, Finalis 3 besar sekolah lainnya tetap mewakili sekolah apalagi kita berdua Fit. Tolong dipertimbangkan Fit. Aku juga sebenarnya masih dilema.”
“Anto, Maafkan Aku, tapi sepertinya Aku tak bisa. Aku mohon maaf selama 3 hari tak masuk karena ada agenda di Luwuk. Kamu tahu kan ini tahun baru mahesi tidak ada kapal yang menyebrang kesini karena orang-orang pada liburan. Semalam Aku dan teman-teman baru dapat tiket kapal, makanya Aku baru bisa masuk sekolah sekarang, Aku sungguh terkejut dengan keputusan ini. Anto, kamu tahu kan, aku ingin berubah. Kenapa selalu saja banyak tantangan untuk mempertahankan ini? Ya Allah.”
“Fit, Aku mengerti maksudmu. Tapi Kamu tidak seharusnya memaksa orang mengerti dengan keinginanmu. Sekarang saatnya kita buktikan kepada orang-orang yang mencela kita bahwa kita tidak seperti yang mereka katakan. Ayo Fit, kita pasti bisa.”Kata Anto memberikan semangat padaku.
***
Hari pertama karantina. Hari yang sangat tak mengenakkan bagiku. Dilema. Semua peserta telah berkumpul di lapangan beringin di sore yang cukup terik ini. Aku berusaha menyembunyikan rasa tidak sukaku pada mereka. Aku mencoba menikmati jam demi jam yang kulewati bersama mereka. Karena memang pada dasarnya Aku tidak begitu merasa sulit untuk bergaul dengan orang baru, hampir semua peserta pada saat itu sudah ku kenal, kitapun terlihat akrab. Ku coba menjalani waktu di sore ini dengan bijaksana agar orang-orang di sekelilingku tetap merasa nyaman dengan keberadaanku. Latihan dimulai dengan saling memperkenalkan diri, lumayan mengasikkanlah bagiku, banyak teman dan banyak pengalaman memang itu yang kusuka. Selanjutnya kita di ajarkan cara berjalan di atas catwalk, sebenarnya Aku, Anto dan beberapa teman yang juga mantan finalis Putra-Putri Putih Abu-Abu di Sekolahku sudah pernah memperagakannya, bisa dikatakan kita sudah biasa, berbeda dengan peserta yang lain yang mungkin baru kali ini menemukannya. Namun ada hal aneh yang kurasa saat ini, sepertinya pekerjaan ini terasa baru untukku. Sambil berjalan mantap di atas catwalk, dengan tatapan tajam namun anggun, semua peserta putri terlihat ayu dan menunjukkan bakat masing-masing, begitupun halnya bagiku. Namun entah mengapa aku teringat pada rekan-rekan juangku, ta’lim di setiap senin dan kamis sore sambil berbuka puasa bersama, seandainya mereka ada disini dan melihat apa yang sedang Aku perbuat. Namun, siapapun yang ku takutkan untuk melihatku Allahlah yang maha melihat. Ya Allah, Aku bingung. Lamunanku terhenti ketika Aku tekejut saat seorang panitia menyebut namaku, Ia menegur seorang peserta yang terlihat masih agak kaku dalam berjalan Ia meminta peserta lainnya memperhatikan gerakan dan caraku berjalan. Ya Allah seandainya mereka tahu apa yang kurasakan. Pergulatan hatiku tak berhenti di situ saja. Suasana semakin menegangkan ketika kita diminta berlomba mengenakan highheels dan berlari di atas catwalk. Ini tentu saja tantangan yang sangat sulit, berjalan saja masih butuh waktu untuk bisa terlihat seperti yang panitia inginkan apalagi berlari. Seketika itu Aku terjatuh dengan higheelsku, dengan muka yang yang merah padam aku menahan malu. Sambil berusaha berdiri secepatnya. Dan.
“ Huuuuuu, makanya. Perhatikan dengan baik arahan instruktur.” Kata seorang panitia dengan sangat judes. “ Besok buka saja kaos kakimu itu, itu yang membuatmu susah berjalan dan sering terpeleset, Kamu tidak mau kan, jatuh di depan penonton yang begitu banyaknya hanya karena kaos kaki. Bukankah tanpa kaos kaki lebih indah, biar penonton bisa menikmati bagaimana jari-jarimu yang manis itu mengenakan higheels dipadukan dengan lenggak lenggok yang indah. Dengan begitu penonton akan lebih terhibur.”
“Astagfirullahaladziiim.” Bisikku pelan, hampir saja bathinku tak tahan lagi berada di tempat itu. Ingin segera berlari kencang menjauh dari tempat ini. Tak sengaja aku melihat Hardianto, ia memandangku sambil mengusap tangannya ke dadanya. Aku yakin ia pasti mengerti yang kurasakan.
Hatiku marah, ingin memberontak. Ingin sekali kuberitahu bahwa Aurat untuk muslimah yaitu seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Ya Allah, bagaimana aku bisa bertahan dengan kondisi seperti ini.

***
“Assalamu’alaikum, Halo.”
“Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Fitri, dimana Nak? Kenapa belum sampai di tempat karantina?.”
“Lagi di rumah teman Pak.”
“Oh, pantas saja. Tadi Bapak Wakasek ke rumahmu, katanya kamu tidak di rumah. Bapak meminta beliau menjemputmu di rumah karena menurut teman-teman kamu belum ada di tempat karantina. Padahal mereka sudah memulai latihan dari setengah jam yang lalu. Fitri, sore ini kalian gladi bersih, besok malam harus tampil. Bapak yakin kamu dan teman-teman pasti bisa membawa nama baik sekolah. Bapak percaya padamu.”
Aku tak menyangka Kepala Sekolah akan menelponku di sore itu, padahal sudah kurencanakan untuk bersembunyi di rumah ketua Korps PIIwati (ketua ta’lim kita di setiap pekan) sambil mengkonsultasikan masalahku. Aku berharap si Kakak ini memberikan arahannya tentang apa yang harus aku lakukan. Ia mengerti aku berada di posisi sulit. Di satu sisi aku harus menjalankan kewajibanku sebagai duta sekolah namun yang lebih penting aku harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba, dan bukakah itu yang lebih utama?
***
“Baiklah, gladi sore ini selesai. Kita ketemu besok sore jam 4, di Salon Ully. Jangan ada yang terlambat lagi yah.” Kata ketua Instruktur.
“Baik, Kak.” Jawab semua peserta.
“Namun, sebelum kalian kembali. Apa ada pertanyaan mengenai pakaian yang akan kalian pakai nanti. Kak Tia, tolong dibagikan kostum mereka !” Tambahnya, sambil meminta seorang instruktur membagikan kostum.
“Perhatian ! di malam pertama penampilan kalian, kalian akan menggunakan pakaian Casual, jadi untuk putra, atasan putih dengan bawahan celana jeans dan untuk putri atasan pink dengan bawahan celana jeans juga.” Jelasnya lagi
Glekk.. Sesaat aku tersentak. Hatiku mulai tak tenang. Apalagi saat melihat kaos yang di bagikan pada teman-teman peserta putri kaos berlengan pendek semua. Aku tak sabar menunggu giliranku.
“Maaf Kak. Bagaimana kalau peserta yang tidak punya celana Jeans?” Kataku spontas sambil mengangkat tangan kananku.
“hah? Maksudnya?.” Tanya Kakak instruktur itu heran padaku. Mungkin ia baru menemukan spesies yang aneh sepertiku. Hehe. Hari gini gak punya celana jeans. Mungkin itu yang ada di pikirannya.
“ Pinjam saja, pasti teman-teman kamu banyak yang punya.” Jawabnya Cuek dan santai.
“ Eehh, maaf kak. Sebenarnya bukan tidak punya, tapiiii tidak suka. Maksudnya, saya tidak suka pakai celana seperti itu.”
Suasana hening. Semua teman-teman menoleh ke arahku. Tatapan mata dari kakak instruktur yang keheranan memaksaku untuk kembali menjelaskan.
“ Maaf, Kak. Sebenarnya bukan juga tidak suka, tapiii...” Penjelasanku terhenti. Aku memutar otak. Kata apa yang harus kugunakan agar tidak membuat mereka tersinggung dengan penjelasanku. Mereka tak sabar menunggu.
“ Tapi, tidak diizinkan sama orang tua saya, Kak.” Jelasku singkat.
Kakak instruktur itu tambah heran mendengarkan penjelasanku. Dan tiba-tiba.
“PLAKK” kaos pink masih terbungkus rapi dengan plastiknya jatuh tepat di depanku. Mungkin kakak yang membagikannya sedikit terkejut mendengar alasanku tak bisa memakai celana jeans. Sehingga caranya memberikan baju itu padaku terlihat kasar. Teman-teman peserta lain semakin memperhatikan gerak-gerikku. Segera kusambar baju di depanku itu, lalu kubuka untuk memastikan kaos sepeti apa yang harus kupakai. Ternyata sama seperti peserta putri lainnya. Ini sunggu membuatku semakin ingin memberontak. Namun ku urungkan dulu niatku. Kutarik napas panjang. Ya Allah, kuatkan aku.
“Maaf, kak. Kaosnya, ada yang lengan panjang? Soalnya saya pakai kerudung”. Tanyaku pelan, sambil menyodorkan senyuman yang nampak terpaksa, sadar bahwa akulah pusat perhatian pada saat itu.
“Kaosnya semua sama untuk peserta putri, kan bukan Cuma kamu yang pakai jilbab kan, Fitri.” Jawab kakan istruktur lagi. Kali ini dengan nada agak sedikit tinggi.
“Tapi kak. Kita yang pakai kerudung masa harus sama pakaiannya dengan yang tidak, kan kita harusnya pakai baju lengan panjang?” tanyaku lagi. Kali ini aku cuek saja. Apapun jawaban mereka. Sepertinya aku kehilangan kesabaran untuk membantahnya.
“Kan kalian bisa pakai manset, tidak tahu manset ya? Ini yang seperti saya pakai.” Sambil menunjukkan bajunya yang memang berlengan pendek dan disambung dengan manset hitam. Jawaban ibu yang sedari tadi memperhatikanku itu, sangat menusuk bagiku. Bagaikan tusukan bunuh diri, seperti gayanya memakai kerudung yang biasa ku sebut ‘kerudung bunuh diri’ (Gaya kerudung yang dililitkan dileher, yang membuat pemakainya agak  kesulitan bernafas). Kali ini aku tak mau menyerah.
“ Maaf bu. Bukan tidak tahu manset. Tapi, saya benar-benar mohon maaf, Kalau yang seperti ibu pakai itu, di rumah saya banyak kok, warna apapun ibu mau Insya Allah ada. Modelnyapun macam-macam, karena saya memang sering pakai. Tapi setahu saya manset itu gunanya untuk menutupi aurat kita dibagian pergelangan tangan, agar walaupun kita memakai baju yang lengannya agak longgar, tangan kita masih tertutup dan terlindungi. Bukan untuk menyambung baju lengan pendek menjadi lengan panjang.” Jawabku sedikit kesal.
“Fitri, kamu di sini peserta, ada panitia yang mengatur kalian. Jadi tolong ikut semua aturan yang sudah dibuat oleh panitia ya”. Kata ketua panitia sambil berjalan ke arahku.
“ Iya, Pak. Sebelumnya saya mohon maaf. Mungkin bapak agak tersinggung dengan apa yang saya katakan tadi. Memang betul sebagai peserta saya harus ikut aturan main dari panitia. Sayapun tidak memaksakan diri untuk bisa ikut pemilihan ini. Kalau memang saya dianggap tidak memenuhi syarat dan terlalu banyak membantah, saya mohon maaf pak. Saya juga siap untuk tidak diikutsertakan dalam pemilihan ini. Saya sadari bahwa saya tidak bisa mematuhi semua aturan panitia.” Jawabku tenang. Sambil duduk kembali.
Dalam hatiku, ingin ketua panitia tadi segera memutuskan bahwa aku boleh tidak ikut acara ini. Teman-teman saling bertatapan, lalu menoleh ke arahku.Namun hal lain yang terjadi. Setelah salah seorang bapak kembali ke arah kami berkumpul, sepertinya Ia baru saja menelpon seseorang, lalu berbincang dengan ketua panitia. Dan.
“ Fitri, kamu boleh pakai apa yang kamu suka, yang penting kamu tetap ikut acara ini apapun yang terjadi, itu pesan Kepala Sekolah.” Ucapnya. “Panitia, tolong kaos untuk putrinya, 1 yang lengan panjang ya”. Sambil mengambil kaos ditanganku dan menyerahkannya pada panitia lain untuk digantikan.
“Terimakasih, pak. Tapi apakah ini tidak adil untuk teman-teman yang juga memakai kerudung?” Jawabku sambil memandang 4 orang peserta putri lainnya.
“ Bagaimana yang lain?” Tanya Bapak itu ke mereka.
Mereka hanya menggeleng. Sepertinya mereka tampak setuju dengan keputusan panitia. Belakangan aku tahu, salah satu dari mereka ingin juga sepertiku tapi takut panitia kan semakin marah. Maka terpaksa ia menerima begitu saja tanpa kata.

***
Malam itu, menjadi malam yang menegangkan bagiku. Apalagi saat perkenalan dan menjawab pertanyaan yang diundi untuk semua yang diambil dari toples cantik tepat di tengah panggung. Sangat menegangkan ketika aku harus menjawab pertanyaan yang tertuju padaku. Namun, aku bisa menyelesaikannnya dengan baik dan rapi, itu komentar Ayahku saat kutanya Malam itu. Paling tidak aku tidak mengecewakan semua pihak yang telah membantuku tampil malam ini. Mulai dari teman-teman ta’limku yang mencari jejak kaos kaki pink yang senada dengan bajuku, jilbab pink yang kukenakan namun tetap syar’i (menutupi leher dan dada, tidak longgar dan tidak transparan) dan Ibuku yang bergegas ke tempat cakar mencari rok jeans yang tidak sempit namun tetap modis. Yang aku tak tahu apakah penampilanku masih tetap syar’i dengan bertabarruj (berhias diri secara berlebihan) yang kulakukan, walaupun hal itu dilakukan oleh pegawai salon tempat kita di-make over. Hanya pada Allah aku berserah diri. Kepala sekolah menyatakan kepuasan melihat penampilan kami para perwakilan sekolah utamanya aku dan hardianto. Sayangnya beliau tidak tahu apa yang aku rasakan.

***

Mungkin Allah ingin menguji kesungguhanku untuk berjilbab, pengumuman dari penampilan pertama, sangat jauh dari harapanku. Pengumuman yang dikirim via sms ke seluruh peserta itu tiba-tiba menggemparkan seisi ruang dewan guru yang sedari tadi para guru dan peserta berkumpul menunggu pengumuman itu. Maka penderitaanku di babak kedua akan segera dimulai.
***
“Baik, latihan sore ini selesai, kita ketemu lagi besok sore di salon Ully pukul 4 sore, seperti biasa. Jangan lupa pelajari materi yang sudah diberikan dan siapkan mental, kalian akan menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah. Belum bisa ditentuka sekarang karena disana baru bisa ditentukan kalian akan pakai baju adat apa.” Jelas ketua panitia di akhir gladi
Keesokan harinya.
Aku sibuk mencari jilbab kecil yang bisa jadi dalaman dan untuk memudahkanku di ruang make up. Aku khawatir akan ada kles lagi, makanya 3 jam sebelum waktu yang ditentukan aku sudah bergegas ke salon dan mencari tahu baju apa yang akan ku pakai. Ternyata pakaian adat Bajo adalah pakaian adat yang dipilhkan untukku, pakaian yang tidak perlu banyak assesories dan tidak banyak hiasan di kepala sehingga tak ada alasan mereka untuk memaksaku melepas kerudungku. Aku sempat shock mendengar tawaran dari si pegawai salon itu, Ia memintaku untuk melepas kerudungku agar Ia lebih mudah menghias kepalaku dengan segala pernak pernik sesuai adat Bajo, katannya tak apalah dilepas sebentar, kan hanya untuk malam ini saja. Dalam hati aku bergumam, bukankah malam ini aku dan teman-teman akan disaksikan beratus pasang mata penonton se-Kabupaten, belum lagi tim cameramen yang kan selalu mengintai kemanapun kita melangkah, percuma dong selama ini aku berusaha melindungi diri dan menutup aurat kalau aku tetap mau menerima tawaran panitia, walaupun memang hanya untuk malam ini. Setelah diskusi yang panjang hampir 4 jam lebih aku mempertahankan mauku, akhirnya mereka menerima juga dengan catatan kerudungku harus ku pakai sendiri karena memang mereka tidak menginginkan hal itu sebenarnya,  ini karena aku mengancam untuk tidak tampil di 5 besar malam ini. Karena merasa tidak mungkin jika finalis 5 besar, tanpa 1 orang finalis putri mereka terpaksa ikut permintaanku, dan tentu saja Ibu dan ibu wali kelasku yang membantuku memasangkan kerudung di malam itu. Sungguh aku sudah sangat merepotkan mereka. Berharap cerita ini sampai disini saja. Ya Allah kuatkan aku menghadapi ujian dariMu.
***
            “ Dan selanjutnya, kita nantikan penampilan dari 3 Besar finalis Putra Putri Nusantara Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2008, mari kita sambut dengan tepuk tangan meriah” Kata Mcnya menyambut kehadiran 3 pasang finalis di atas panggung.
            Langkah ayu dan pelan diiringi instrumen lagu ‘Banggai tano monondok’ satu persatu dari finalis tampil di tengah-tengah penonton yang disambut dengan riuh tepuk tangan yang tak henti-henti. Kulihat samping kanan dan kiriku, finalis putri dengan gaun malamnya. Ya gaun malam. Dan kalian tahu apa yang terjadi dengaku?
            Aku tak memperdulikan hasil pengumuman dari penampilan malam ini, yang aku fikirkan, betapa kesyukuranku yang sangat mendalam kepada Allah, betapa aku masih sangat dilindungi, dijaga dan disayang ketika diberi ujian seperti ini, Aku berharap aku bisa lolos menurut penilaian Allah, tak peduli penilaian dewan juri. Bahkan ketika diumumkan Aku Runner Up II di Pemiliha Putra Putri Nusantara Kab. Banggai Kepulaian tahun 2008 ini, aku sama sekali tidak mempedulikannya, tak ada masalah bagiku walaupun alasan dewan juri bahwa warna kaos kakiku tak sesuai dengan warna pakaian yang kupakai, kostumku tidak nyambung, kurang seksi dan alasan-alasan lainnya. Tapi 1 hal yang dapat kubanggakan kemampuanku menganalisis masalah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dewan juri menjadi alasan pada dewan juri untuk tetap mempertahankan aku di ajang ini. Komentar yang sangat aku garis bawahi, ucapan selamat dari salah seorang juri (padahal beliau nonmuslim) bahwa Ia salut padaku, aku telah merubah mindsetnya bahwa muslimah yang berjilbab tetap bisa berpretasi tanpa harus melepaskan komitmennya untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Ini terbukti dari predikatku selain Runnur Up II, juga sebagai Putri Favorite pilihan penonton dan Putri Persahabatan pilihan peserta. Sang juara di Mata manusia belum tentu juara di mata Allah dan Juara di Mata Allah belum tentu juga juara di mata manusia.

dalam sujud kesyukuran.
Palu, 23 April 2012